(
kata kunci apabila kita memasuki kawasan alas krendowahono, bahwa keselamatan
itu harus di utamakan, karena sesuatu yang besar bermula dari yang kecil)
Do’a itu yang diyakini ampuh apabila memasuki
kawasan Alas Krendowahono,
do’a tersebut diajarkan
oleh Juru kunci alas krendowahono yakni Mbah Lurah Wiryono. Beliau telah mengabdi menjadi juru
kunci selama 25 tahun. Di usianya yang hampir 1 abad dengan setia tetap mengemban amanah dari
sang Sinuhun Paku Buwono X. Alas yang terletak di pinggir
desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah masih menjadi situs sejarah terkait erat dengan
Kraton Surakarta. Untuk mencapai lokasi tersebut kita
harus berjalan kaki kira-kira 500 m melalui jalan setapak yang di lapisi batu
bata berwarna abu-abu, jalan yang naik turun dan berundak-undak, serta rimbun pohon bambu
yang masih liar menambah
tantangan tersendiri bagi para peminat sejarah atau bahkan wisatawan.
Jalan yang kami lalui ternyata telah
melalui proses renovasi oleh pemerintah masa jabatan Hj. Rina Iriani
S. Pd M. Hum. sebagai Bupati
Kabupaten Karanganyar. Namun demikian,
sangat disayangkan dalam hal perawatan kompleks alas tersebut bisa
dikatakan kurang, karena minimnya
perhatian dari pemerintah setempat, misalnya
penerangan
dan perawatan yang layak untuk alas tersebut, padahal alas tersebut merupakan
situs yang harus
dilestarikan karena nilai kesejarahannya. Alas krendowahono
sering juga di datangi oleh pengunjung, baik dari kalangan pelajar/mahasiswa, wisatawan asing maupun lokal. Wisatawan asing yang
pernah datang berasal dari prancis,
biasanya orang-orang
yang mengunjungi situs ini dilatarbelakangi beberapa
faktor, ada yang ingin mengetahui sisi
sejarahnya,
bahkan untuk bertapa agar
mendapat keberkahan dalam hidupnya sampai
ada yang meyakini apabila kita memohon dengan sungguh-sungguh di depan punden
permintaan kita akan terkabul. Dalam lokasi ini terdapat beberapa situs yakni
Punden Krendowahono, Bangsal, Selo Gilang dan Sendang. Di setiap masing-masing
tempat masih terdapat dupa dan juga
kembang 7 rupa yang aromanya menambah suasana
Mistik dalam Alas Krendowahono.
Sekilas
Sejarah Alas Krendowahono
Alas Krendowahono
adalah tempat yang disakralkan kraton Surakarta yang
terletak di desa krendowahono Surakarta. Tempat ini dulunya merupakan hutan yang angker, pepatah
mengatakan jalmo moro jalmo mati. Alas krendowahono juga merupakan tempat
persemayaman eyang
bethari durga. Bila dilihat dari dimensi
alam lain alas krendowahono
juga merupakan kerajaan dengan pemerintahan yang telah tertata rapi. Pada masa
perjuangan melawan penjajah tempat ini sering dijadikan persembunyian dan
tempat menyusun strategi penyerangan terhadap penjajahan Belanda. Konon
pangeran kerajaan yogya yang terkenal yaitu Pangeran Diponegoro dengan pihak
Keraton Surakarta sering mengadakan perundingan di tempat ini dan setiap
Belanda mengadakan pengejaran di alas krendowahono selalu tidak kembali.
Presiden pertama dan kedua kita yakni Soekarno dan Soeharto kabarnya
juga pernah menyepi
ditempat ini untuk urusan besar mengenai negara. Keberadan tempat ini sangat lama bahkan sudah
diketahui sejak jaman Kediri, terbukti dari ramalan Jayabaya yang juga menyinggung mengenai
keberadaan tempat ini. Hingga sekarang area alas krendowahono masih tetap membawa kesan angker dan begitu terasa hawa mistiknya.
Tradisi yang tetap dilestarikan
Seiring
perkembangan zaman
Alas Krendowahono tidak pernah lepas dari adat Kraton Surakarta yakni upacara “Mahesa Lawung”. Upacara mahesa lawung merupakan
upacara yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Suro atau Ba’da bulan Maulud.
Dalam upacara tersebut dibutuhkan sesaji berupa ayam panggang, kelapa muda, nasi putih, bunga tujuh rupa
dan kepala kerbau yang masih dibungkus kain putih. Dalam bahasa jawa Mahesa berarti kerbau, sedangkan Lawung berarti jantan, liar dan belum
pernah kawin.
Menurut Pengageng Museum Keraton Kasunanan
Surakarta Hadiningrat, KGPH Puger, kepala kerbau adalah simbol kebodohan yang
harus diperangi.
“Prosesi pemendaman kelapa kerbau di
Alas Krendowahono menjadi simbol bahwa kebodohan harus dipendam
sedalam-dalamnya”. Dahulu upacara Mahesa Lawung dilaksanakan untuk menghormati para leluhur. Namun, sekarang lebih
berkembang karena do’a bukan hanya ditujukan untuk para leluhur tetapi juga dipanjatkan untuk keselamatan negara. Mereka berharap dengan adanya Upacara Mahesa Lawung Indonesia
menjadi negara yang aman, tentram dan makmur. Dengan mengumpulkan semangat kesadaran
kolektif untuk sanggup menderita dan sengsara atau berkorban (lawung) demi
keselamatan dan ketenteraman Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak lupa
demi menegakkan Pathok Negaranya, yaitu Pancasila dan Preambule
UUD'45.
Tim Liputan: Imron, Arizona, Yudit, Puspita, Tyas (30 Juni 2011)
Komentar
Posting Komentar